KESHOLEHAN ORANG TUA UNTUK GENERASI PENERUS
KESHOLEHAN
ORANG TUA UNTUK GENERASI PENERUS
Keluarga yang
sholeh haruslah terbentuk dari orang tua yang sholeh. Dimulai dari ayah dan
ibu. Sebuah pohon yang tumbuh subur dengan buah yang segar pastilah berasal
dari pohon dengan akar yang baik. Kesholehan ayah dan bunda merupakan faktor
penentu paling utama untuk menghasilkan anak-anak yang sholeh dan sholihah.
Marilah kita
luangkan waktu untuk berhenti sejenak melihat kepada pribadi Ibrahim alaihissalam. Sosok yang kokoh dalam
keimanannya. Sebelum kita melihat pribadi Ibrahim sebagai seorang ayah, Surat
Al Anbiya ayat 52 sampai dengan ayat 70 menggambarkan kokohnya aqidah seorang
Ibrahim. Ketika ia mulai mendakwahkan nilai-nilai tauhid kepada sang ayah yang
menyebabkan ia bermasalah dengan sang ayah. Sampai ketika ia harus berdialog
dan berargumentasi dengan masyarakat dan rajanya. Hingga Ibrahim mengambil
tindakan menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah, agar mereka sadar.
Sebuah aqidah dan keberanian yang sungguh luar biasa.
(وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ
رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ * إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ
مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ * قَالُوا وَجَدْنَا
آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ * قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ * قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ
* قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ
وَأَنَا عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ * وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ
أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ * فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا
كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ * قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَٰذَا
بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ * قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى
يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ * قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَىٰ أَعْيُنِ
النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ * قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَٰذَا بِآلِهَتِنَا
يَا إِبْرَاهِيمُ * قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَٰذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ
كَانُوا يَنْطِقُونَ * فَرَجَعُوا إِلَىٰ أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ
أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ * ثُمَّ نُكِسُوا عَلَىٰ رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا
هَٰؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ * قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا
يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ * أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ * قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا
آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ * قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا
وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ * وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ
الْأَخْسَرِينَ)
[Surat
Al-Anbiya' 51 - 70]
21:51. Dan sesungguhnya telah Kami
anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan
adalah Kami mengetahui (keadaan) nya.
21:52. (Ingatlah), ketika Ibrahim
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
beribadah kepadanya?”
21:53. Mereka menjawab: “Kami mendapati
bapak-bapak kami menyembahnya”.
21:54. Ibrahim berkata:
“Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”.
21:55. Mereka menjawab: “Apakah kamu
datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang
yang bermain-main?”
21:56. Ibrahim berkata: “Sebenarnya
Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku
termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”.
21:57. Demi Allah, sesungguhnya aku
akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya.
21:58. Maka Ibrahim membuat
berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari
patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.
21:59. Mereka berkata: “Siapakah
yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang lalim”.
21:60. Mereka berkata: “Kami dengar
ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.
21:61. Mereka
berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang
banyak, agar mereka menyaksikan”.
21:62. Mereka
bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami,
hai Ibrahim?”
21:63. Ibrahim
menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”.
21:64. Maka
mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: “Sesungguhnya
kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”,
21:65. kemudian
kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim)
telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara”.
21:66. Ibrahim
berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat
memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?”
21:67. Ah
(celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak
memahami?
21:68. Mereka
berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar
hendak bertindak”.
21:69. Kami
berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi
Ibrahim”.
21:70. mereka
hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu
orang-orang yang paling merugi.
Al Quran tidak
menyebut berapa usia Ibrahim saat mempunyai aqidah yang mengagumkan itu. Tetapi
Al Quran memberikan isyarat dengan kata fata
(anak muda). Lihatlah keteguhan dalam keimanan yang dimiliki oleh seorang
pemuda yang bernama Ibrahim alaihissalam,
tidak bergeming walaupun harus berhadapan dengan kobaran api yang siap
memanggangnya.
Ayat ini sangat
menarik ketika kita mengaitkan dengan kisah hidup Ibrahim yang gemilang menjadi
tokoh dunia. Termasuk sebagai seorang kepala rumah tangga dan sebagai ayah yang
melahirkan anak-anak dan keturunan yang hebat.
Ternyata ayat
ingin menyampaikan kepada kita bahwa keshalehan seorang Ibrahim telah terbentuk
di saat usia masih muda belia. Usia sebelum membina rumah tangga.
Ayat ini
menjadi pengingat anak-anak muda yang lalai. Kelak mereka semua akan mempunyai
keluarga. Keshalehan saat masih muda, akan berbalas kenyamanan saat mereka
kelak berumah tangga. Allah tidak mungkin lupa dengan kebaikan hamba-Nya.
Ayat ini juga
menjadi peringatan bagi keluarga-keluarga yang harus terus membimbing
anak-anaknya yang masih muda untuk terus menggapai keshalehannya. Karena hal
tersebut merupakan modal penting mereka saat mereka menjadi suami, isteri dan
ayah, bunda.
Pentingnya
Keshalehan Seorang Ayah
(وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ
لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا
وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ
أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا)
18:82. Adapun
dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;
dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Ayat ini sangat
jelas, memaparkan tentang pentingnya keshalehan seorang ayah.
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. (Al-Kahfi: 82)
Yang karena
keshalehan sang ayahlah maka Allah subhanahu
wata'ala ingin agar kelak sang anak mendapatkan pertolongan dari seorang
yang shaleh juga bahkan Nabi, untuk membangun rumahnya yang hampir roboh. Juga,
agar harta peninggalan yang dimiliki oleh sang ayah yang dikubur dalam rumah
itu, sampai kepadanya dengan selamat di usia dewasanya.
Inilah ayat
yang mendorong seorang Sayyid bin Musayyid berkata pada saat melihat anaknya.
"Aku sangat bersemangat untuk menambah sholatku setiap kali aku melihat
dirimu, karena itu kelak yang akan menjagamu. Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala berfirman (sedang ayahnya adalah seorang yang sholeh). (Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam)
Karena
keshalehan sang ayahlah maka Allah subhanahu
wata'ala akan memberikan balasan dengan penjagaan generasi selanjutnya
walaupun sang ayah telah tiada.
Adalah Umar bin
Abdul Aziz, seorang khalifah yang adil. Yang dalam waktu 29 bulan dapat
meyejahterkan rakyatnya. Sulit untuk mendapatkan orang tidak mampu yang berhak
menerima zakat di masa pemerintahannya.
Suatu kali
salah seorang stafnya, Maslamah bin Abdul Malik berkata saat Umar bin Abdul
Aziz sakit parah menjelang meninggal, "Ya amirul mukminin. Sesungguhnya
anda sudah menguapkan harta anda dari mulut anak-anak anda. Akan lebih baik
jika anda mewasiatkan anak-anak anda kepada saya atau orang-orang seperti saya
yang akan menanggung biaya mereka".
Maslamah ingin
mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sang khalifah itu tidak meninggalkan harta
yang banyak untuk kelanjutan anai-anak sepeninggalnya. Maslamah mengkhawatirkan
masa depan anak-anak Umar bin Abdul Aziz, maka dia menawarkan kebaikan untuk
menanggung biaya hidup dan masa depan anak-anaknya.
Mendengar
kalimat baik itu, Umar bin Abdul Aziz meminta untuk didudukkan dan berkata,
"Aku sudah
dengar perkataanmu wahai Maslamah. Adapun kalimatmu bahwa aku menguapkan harta
dari mulut anak-anakku, maka demi Allah subhanahu
wata'ala aku tidak pernah mendzalimi mereka jika itu memang hak mereka.
Sebagaimana aku tidak mungkin memberikan sesuatu yang bukan merupakan hak
mereka.
Adapun agar aku
mewasiatkan anak-anakku kepadamu. Maka wasiat saya untuk mereka adalah firman
Allah subhanahu wata'ala,
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ
الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ ۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al
Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.
Sesungguhnya
anaknya Umar bin Abdul Aziz hanya satu diantara dua: Shaleh dan akan dicukupi
oleh Allah subhanahu wata'ala. Atau
tidak sholeh, maka aku tidak mungkin menjadi orang pertama yang memberikan
harta untuk membantu kemaksiatan."
Lihatlah sebuah
keyakinan yang luar biasa terhadap janji Allah subhanahu wata'ala. Ketika seluruh anaknya berkumpul dia berurai
air mata dan menyampaikan pesan terakhirnya. Dan inilah kalimat terakhirnya,
"Sudah, pergilah kalian semoga Allah subhanahu
wata'ala menjaga kalian dan memberikan rizki kepada kalian."
Sejarah
mencatat bahwa Umar bin Abdul Aziz meninggalkan 11 anak. Seorang anak hanya
mendapatkan setengah dan seperempat Dinar. Angka yang sangat kecil untuk ukuran
warisan seorang anak khalifah. Dan kalau ini dibanding dengan khalifah yang
sama di masa Bani Umayyah maka hal ini seperti sesuatu hal yang tidak mungkin.
Mari kita bandingkan dengan Hisyam bin Abdul Malik seorang yang juga khalifah
pada Dinasti Bani Umayyah. Ia juga meninggalkan 11 orang anak pada saat
kematiannya. Satu orang putranya saja mendapatkan 1 juta dinar.
Anak Umar bin
Abdul Aziz hanya mendapat setengah dinar untuk satu orang anak sementara anak
Hisyam bin Malik mendapat 1 juta dinar untuk satu orang anak.
Dan selanjutnya
sejarah menyampaikan bahwa tidaklah setiap anak Umar bin Abdul Aziz itu
melainkan di kemudian hari menjadi kaya raya dan dikagumi kesholehannya. Bahkan
kelak satu dari putra Umar bin Abdul Aziz menginfakkan 100.000 kuda untuk jihad
fisabilillah. (Lihat Alfi Qishshah wa
Qishshah, h. 8)
Lihatlah
keberkahan dari kesholehan seorang ayah terhadap anak-anaknya. Seorang ayah
yang sangat memperhatikan kehalalan setiap makanan, harta dan peninggalan untuk
sang anak. Sementara anak-anak Hisyam bin Malik menjadi miskim dan terlantar.
Inilah buah
kesholehan, karena kesholehan seorang ayah tidak hanya untuk kita pribadi
sebagai ayah, tapi juga kelak untuk anak-anak kita
Komentar
Posting Komentar